Dari sudut pandang linguistika, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun saat ini dipahami oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia tidak menduduki posisi sebagai bahasa ibu bagi mayoritas penduduknya. Sebagian besar warga
Bahasa Indonesia tergiring menjadi tumbuh liar, tanpa arah yang rentan dan rawan bagi ahli waris generasi 1928. Salah satu pemicunya adalah penggunaan Bahasa Indonesia melalui siaran, baik melalui media radio maupun media televisi. Memang untuk mewujudkan Bahasa Siaran yang standar atau
bahasa lisan
Diperparah lagi dengan kebijakan pendidikan kita yang membuka kelas-kelas internasional di sekolah-sekolah nasional dengan menjadikan Bahasa Inggris sebagai berhala.
Undan-Undang no. 32 tahun 2002 , tentang Penyiaran pasal 37 menyatakan bahwa Bahasa Pengantar Utama dalam penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pasal 38 menyatakan bahwa Bahasa Daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan apabila diperlukan untuk mendukung mata acara tertentu. Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara siaran. Pasal 39 menyatakan bahwa mata acara siaran bahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu.
Bagaimana penerapan pasal-pasal kebahasaan Undang-Undang Penyiaran tersebut di media, radio dan televisi kita? Simaklah tayangan media TV dan dengarkan siaran media radio kita, ambil contoh yang bersiaran di
Pembusukan internal terhadap martabat bahasa Indonesia melalui lembaga penyiaran pun tak kalah memprihatinkan. Pribahasa kita menyatakan “Bahasa Menunjukan Bangsa” pribahasa ini tidak harus di makknai sebagai bahasa sebagai “language” melainkan sebagai prilaku yang bermartabat (beharvior). Kosakata vulgar/kasar yang berhamburan dalam program televisi
lembaga penyiaran tidak boleh menyajikan penggunaan bahasa atau kata-kata makian yang mempunyai kecenderungan menghina/merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar serta menghina Agama dan Tuhan kata-kata kasar dan makian yang dilarang disiarkan mencakup kata-kata dalam Bahasa Indonesia, bahasa asing dan bahasa daerah, baik diungkapkan secara verbal maupun non-verbal.
Momenklatur sinetron tidak dikenal pada masa awal eksistensi lembaga penyiaran TV di Indonesia. TVRI satu-satunya lembaga penyiaran TV dalam tahun 1962 hanya mengenal nama Drama Televisi sebagai terjemahan TV play yang dikenal dalam peristilahan program TV internasional. Istilah sinetron sebagai akronim sinema elektronik dikenal setelah merebaknya stasiun-stasiun TV swasta di
produksi sinetron dan oleh lembaga penyiaran yang menyiarkannya.
Terbukti kata-kata kasar/makian/dialog vulgar berhamburan di layar kaca diiringi dengan adegan non-verbal (visual) yang tidak kalah kasarnya. Kata-kata seperti “anjing” , “monyet”, “pantat”, “ diancuk” sudah sangat terbiasa kita dengan melalui sinetron dilengkapi dengan mata melotot, gerakan sadisme, dan darah. Tahun-tahun terakhir ini dibumbui lagi dengan adegan horor lewat sinetron yang tidak kalah sadisnya.
Sumber :
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia.
2. http://pondokbahasa.wordpress.com/2008/11/13/daya-rusak-terhadap-perkembangan-bahasa-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar